Tambang Wariskan Petaka, Selamanya?

SHARE

Ilustrasi by Roby


Perkara UU

Semuanya tentu bergantung pada mekanisme Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah diundangkan. Pada prinsipnya fundamentalnya UU tentu berasaskan kemaslahatan negara-bangsa. Tujuannya kepentingan publik nasional yang memberikan manfaat kesejahteraan masyarakat.

Namun persoalannya kemudian, sejak disahkan dua tahun lalu, UU Minerba baru ini dinilai telah menyebabkan kriminalisasi hingga perusakan lingkungan yang semakin parah. Hal tersebut disampaikan sejumlah direktur eksekutif daerah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia dalam konferensi pers secara daring, Rabu (9/3/2022).

Masih menurut WALHI, berdasarkan catatannya selama tahun 2021, dari 58 kasus kriminalisasi, 52% merupakan kasus di sektor pertambangan. Setidaknya telah ada 21 orang warga yang mengalami kriminalisasi dengan menggunakan UU Minerba, dan lebih dari 11 juta hektare ruang hidup dan wilayah kelola rakyat dijarah oleh investasi pertambangan.

Disebutkan juga dalam jurnal Pandu Pradipta “UU Minerba Digunakan untuk Mengkriminalisasi Masyarakat”. Bahwa, salah satu aturan dalam UU Minerba yang digunakan untuk mengkriminalisasi pejuang lingkungan dan masyarakat, yakni Pasal 162. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang telah memenuhi syarat dapat dipidana dengan kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.

Seperti diketahui UU Nomor 3 Tahun 2020 hingga kini sedang dilakukan uji meteri di Mahkama Konstitusi. Pemohon menguji beberapa pasal, diantaranya  Pasal 4 ayat (2) menyebutkan penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan Pemerintah pusat.

Melalui UU Minerba baru ini Negara menerapkan sistem sentaralisai Izin Usaha Pertambangan. Yakni mekanisme pemberian perizinan tambang atau minerba yang semula kewenangan desentralisasi pada pemerintah daerah, kini tersentralisasi di pemerintah pusat. Dengan berdalih banyak masalah pertambangan yang timbul.

Selanjutnya, Pasal 5 ayat (2) untuk melaksanakan kepentingan nasional, Pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, penjualan, dan harga mineral logam, mineral bukan logam jenis tertentu, atau batu bara.

Perubahan kewenangan pengelolaan tambang dari yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Menurut ahli pemohon menilai, dapat menyulitkan serta membatasi akses masyarakat daerah terhadap informasi dan turut berpartisipasi dalam mengelola sumber daya alam di wilayah mereka.

Halaman : 1