Merangkai Asa Masyarakat Pedalaman Kaltara dengan Perhutanan Sosial

SHARE

Istimewa


Makna strategis "roadmap"

Roadmap PPS Kaltara ini penting karena masih banyak masyarakat yang belum memahami tata pengusulan serta meraih manfaat dari program prioritas pemerintah --Perhutanan Sosial-- itu.

Kondisi itu diakui Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Utara, Syarifuddin waktu pelaksanaan FGD di Hotel Lominor Tanjung Selor Bulungan Kaltara, 22 – 23 Juni 2022 itu.

FGD dihadiri Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) se-Kalimantan Utara.

Selain itu hadir sejumlah NGO atau LSM, yakni GGGI (Global Green Growth Institute), Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, YKAN (Yayasan Konservasi Alam Nusantara), Pionir, Sawit Watch, dan GIZ - Propeat (Deutsce Gesellshaft fur Internationale Zusammenarbeit - Proyek Pengelolaan dan Rehabilitasi Gambut dan Lahan Basah).

Guna memberikan pemahaman Perhutanan Sosial bagi masyarakat, agaknya perlu kolaborasi dari berbagai pihak/multi stakeholders (kelompok kepentingan) seperti Dinas Kehutanan, Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPD KPH) dan LSM.

Makna strategis peta jalan itu, yakni bisa ditentukan berbagai percepatan yang memuat rencana aksi, kegiatan dan tata waktu, pembiayaan Perhutanan Sosial.

Hari Fitrah, Koordinator Regional Kalimantan KKI Warsi menilai hasil dari FGD ini harus bisa menghasilkan "output" yang dapat dilaksanakan dan adanya manfaat yang dapat dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat sekitar hutan.

Masyarakat sekitar hutan seyogyanya merasakan manfaat dari hasil kesepakatan itu.

KKI Warsi mengapresiasi langkah cepat Pemerintah Kaltara untuk menyelesaikan roadmap yang akan menjadi acuan langkah percepatan Perhutanan Sosial di provinsi termuda atau ke-34 itu.

Sejak 2018 KKI Warsi hadir di Kaltara untuk mendukung program pemerintah melalui Perhutanan Sosial.

Diharapkan dengan adanya roadmap ini, maka masyarakat sekitar hutan akan semakin merasakan manfaat bagi kesejahteraan mereka, di sisi lain bermanfaat secara ekologis.

Khusus bagi warga pedalaman, "Program Perhutanan Sosial" dalam praktik kehidupan sosial hakikatnya sudah dari generasi ke generasi telah mereka terapkan.

Misalnya, saat akan membuka lahan ladang jika terdengar lenguhan Payau atau Rusa Sambar
(Cervus unicolor kerr) --jenis rusa terbesar di Indonesia berat bisa mencapai dua kuintal-- maka itu "petanda buruk" agar hutan tidak boleh dibabat.

"Petanda buruk" itu telah menyelamatkan hutan yang masih memiliki keanekaragaman hayati luar biasa karena keberadaan Payau mencerminkan kondisi hutan masih sangat bagus.

Saat hutan dalam kondisi buruk --terjadi kerusakan ekosistem akibat pembalakan liar, misalnya-- maka jarang ditemukan jejak kehadiran satwa langka itu, antara lain Payau (rusa sambar), kijang atau macan dahan.

Kearifan lokal dengan "membaca petanda alam" seperti itu mampu melestarikan alam sekitarnya mungkin sudah berlangsung sejak berabad-abad silam.

Kearifan lokal itu, termasuk membagi kawasan ke dalam beberapa zona, antara lain zona untuk "berladang gilir balik".

Ada pula zona "hutan larangan" (dilarang dibabat karena menjadi apotik hidup, tempat berburu, dan terdapat hasil hutan ikutan bukan kayu, antara lain damar, sarang burung, rotan dan gaharu.

Berbagai kesepakatan pengelolaan hutan adalah
solusi yang bisa diterima semua pihak. Peluang yang paling memungkinkan adalah melalui "Program Perhutanan Sosial".

Kini, proses terpenting setelah adanya pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh masyarakat, yakni penguatan kelembagaan kelompok pengelola.

Di antaranya dengan melakukan pengembangan usaha Perhutanan Sosial, berbasiskan potensi yang bisa disesuaikan dengan akses dan transportasi ke wilayah itu.

Kelemahan infrastruktur menjangkau warga di pedalaman atau sekitar hutan ini adalah persoalan yang harus juga mendapat perhatian serius jika ingin segera meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pemerintah hakikatnya melalui Program Perhutanan Sosial telah menujukan sebuah "political will" (kemauan politik) untuk berdiri bersama masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan mereka, serta bersatu padu dalam menjaga kelestarian hutan secara efektif.

"Political will" penting, mengingat kebijakan untuk mensejahterakan warga sekitar hutan, sekaligus melestarikan lingkungan selain butuh kepastian hukum, program yang tepat, juga pendanaan proporsional untuk membenahi infrastruktur --pembangunan-- di pedalaman.

Adanya "political will" bagi berbagai kebijakan bidang kehutanan, termasuk Program Perhutanan Sosial menjadi asa bagi warga pedalaman untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sekaligus melestarikan alam rimba Kalimantan yang menjadi bagian dari paru-paru dunia itu.
 

Halaman : 1