Pola yang terbentuk pada benang menjadi motif yang menyerupai beberapa guratan dan gambar di Watu Pinawetengan. Motif tersebut antara lain, motif Karema, Lumi’muut, dan Toar. Ketiga gambar ini merupakan representasi dari leluhur Minahasa. Uniknya gambar tersebut juga ditemukan di Gua Angano, Filipina. Selain itu, terdapat juga motif Lingkan Wene, yaitu motif yang menggambarkan dewi kesuburan, dan motif toar waktu masih bayi, motif ikan yang menunjukkan musim tertentu.
Setelah pola sudah terbentuk pada benang, benang tersebut kemudian masuk ke tahap pewarnaan. Tahap selanjutnya adalah dengan melakukan pengginciran dan pemaletan benang. Setelah itu barulah benang yang sudah diwarnai dimasukan ke dalam alat tenun ikat untuk disatukan menjadi kain tenun yang indah.
Untuk menghasilkan benang yang sudah terbentuk pola, para pengrajin kain tenun bisa menghabiskan waktu pengerjaan selama tiga minggu hingga satu bulan. Kemudian ketika masuk ke dalam proses penyatuan benang pada alat tenun ikat, para pengrajin bisa menghasilkan satu meter kain tenun per harinya.
Secara umum terdapat 4 jenis kain Pinawetengan, yaitu kain polyster, sifon, sutera, dan tenun. Perbedaan keempat jenis kain tersebut terletak pada benang yang digunakan. Perbedaan benang inilah yang mempengaruhi harga jual ke-empat jenis kain Pinawetengan.