CARAPANDANG - Pakar bidang kesejahteraan hewan Drh R.D. Wiwiek Bagja mengatakan seseorang yang tak sembuh diobati dengan antibiotik bukan hanya karena meminumnya tak sesuai dosis tetapi bisa jadi karena sering konsumsi pangan tercemar antibiotik.
"Belum tentu karena minum antibiotik enggak full dosis, tetapi karena memang (makan) makanan sudah tercemar atau mengandung residu yang terkontrol," kata dia di Jakarta, Jumat.
Menurut Wiwiek, pada hewan, antibiotik digunakan dalam pengobatan bukannya demi memicu pertumbuhan dan pencegahan penyakit. Pengobatan biasanya dilakukan sebatas lima hari atau maksimal tujuh hari dan setelahnya dihentikan.
Pada sisa hari-hari berikutnya hingga 23 hari (khusus untuk ayam broiler) ke depan, tubuh hewan sudah bebas dari antibiotik. Hewan pun bisa dijual ke pasaran.
Namun, penjual atau peternak yang tidak taat dapat menjual hewan kurang dari batas waktu maka menyebabkan badan hewan dipenuhi antibiotik saat diterima konsumen.
"Ini belum berhenti, jual-jual saja. Badan ayam broiler penuh antibiotika. Residunya tinggi. Kita sebagai yang mengonsumsi daging yang di dalamnya ada antibiotikanya. Efeknya badan jadi punya antibiotik yang terus menerus ada di dalam badan," kata Wiwiek.
Dosis antibiotik yang sebenarnya kecil, namun karena tubuh terus menerus dipaparkan akibat sering konsumsi produk hewan tercemar antibiotik, maka tanpa sadar menjadi menumpuk dan menyebabkan bakteri dalam tubuh kebal.