Amerika Serikat, kata Lavrov, berusaha "memonopoli" dialog Palestina dan Israel, dengan menjauh dari pembentukan negara Palestina serta lebih memilih berbicara meringankan masalah sosial-ekonomi warga Palestina.
Palestina menginginkan sebuah negara di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya yang seluruhnya direbut Israel dalam Perang 1967.
Kuartet, yang terdiri dari PBB, Uni Eropa, Amerika Serikat dan Rusia, dibentuk pada 2002. Mandatnya adalah memediasi perdamaian dan mendukung rakyat Palestina mempersipkan diri menjadi negara.
Israel pada Senin mengaku telah memanggil 300.000 tentara cadangan dan memperingatkan penduduk di wilayah Gaza agar pergi. Ini petunjuk bahwa mereka mungkin merencanakan serangan darat guna mengalahkan Hamas.
"Situasi ini berpotensi penuh memunculkan bahaya konflik yang meluas, dan oleh karena itu, tentu saja, ini menjadi perhatian khusus kami saat ini," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.
Pada pembicaraan di Moskow, Aboul Gheit mengatakan kepada Lavrov bahwa dia setuju perlunya menghentikan kekerasan tetapi mengatakan peristiwa seperti itu akan terus berlanjut selama masalah Palestina masih belum terselesaikan.
"Kami sepenuhnya menolak kekerasan, oleh kedua pihak. Masalah Palestina tidak bisa ditunda lagi, dan keputusan PBB harus dilaksanakan," kata Aboul Gheit, yang menjabat menteri luar negeri Mesir selama tujuh tahun terakhir pemerintahan Hosni Mubarak.