“Kalau kita sadar bahwa segala sesuatu punya batin—punya jawhar—kita tidak mungkin merusak alam. Membakar hutan sama artinya merusak tanda keberadaan Tuhan,” ujarnya.
Dia pun mengutip sejumlah tradisi besar seperti Islam, Hindu, Taoisme, dan filsafat klasik untuk menunjukkan bahwa hampir semua ajaran agama mengandung etika ekologis.
“Alam adalah partner, bukan objek. Engkau adalah aku, aku adalah engkau. Kalau engkau mati, aku mati,” jelasnya.
Nasaruddin mengapresiasi Kepala BMBPSDM Muhammad Ali Ramdhani yang meluncurkan buku pengantar ekoteologi. Ia berharap ke depan lahir karya yang lebih komprehensif untuk mengurai hubungan manusia–alam–Tuhan dalam perspektif moderasi beragama.
“Jika pemahaman puncak ini terwujud, akan muncul kesadaran global untuk menjaga bumi. Semakin cepat alam rusak, semakin cepat pula tanda-tanda kehancuran datang. Mari kita menunda kiamat dengan menjaga lingkungan,”ujarnya.