China menghadapi tarif hingga 245 persen, sebuah angka yang sangat tidak lazim. Sementara itu, India, meski dikenai tarif yang relatif rendah di angka 26 persen (yang penerapannya saat ini sedang ditangguhkan selama 90 hari), berada dalam kondisi genting antara otonomi strategis dan pragmatisme ekonomi.
AS mungkin melabeli India sebagai "raja tarif" atas praktik perdagangannya, tetapi AS secara hipokrit menerapkan beban tarif kepada hampir semua mitra dagangnya, apa pun status perkembangan mereka. Langkah ini tampaknya merupakan strategi untuk membangun kembali dominasi sepihak AS dalam tata kelola perdagangan global, yang berkedok upaya mengatasi defisit perdagangan atau melindungi lapangan pekerjaan di AS.
Tarif terhadap impor global AS, seperti yang telah diumumkan, berubah dari tekanan yang bersasaran menjadi nasionalisme ekonomi yang agresif. Negara-negara Global South, yang berkaitan erat dengan jaringan manufaktur China, sedang bersiap menghadapi dampak yang sangat besar.
Di tengah kekacauan ekonomi ini, Gedung Putih menggunakan taktik intimidasi. Serangkaian kebijakan diumumkan, ditangguhkan sementara, dan dibatalkan hanya dalam hitungan jam. Beberapa negara tergoda dengan tawaran akses pasar istimewa dari AS sebagai bentuk pertukaran atas pembatasan hubungan ekonomi mereka dengan China. Namun, negara-negara hendaknya mencermati contoh-contoh di masa lampau yang sungguh-sungguh menyarankan agar tidak terjebak dalam perangkap oportunisme.