Pameran ini juga menjadi kritik terhadap struktur kekuasaan yang ada sekaligus ajakan untuk membangun visi Amerika yang lebih inklusif. Pameran ini menyoroti suara para seniman Kulit Hitam, Penduduk Asli, dan Orang Kulit Berwarna (Black, Indigenous, and People of Color/BIPOC), sehingga diskusi tentang isu ras dipimpin oleh mereka yang paling merasakan dampak dari warisan tersebut.
Pameran ini diselenggarakan bersama oleh MOCA dan The Brick, menampilkan monumen-monumen yang dipindahkan dari lokasi aslinya di luar ruangan kemudian dipajang dalam berbagai kondisi, mulai dari yang masih utuh hingga yang rusak parah akibat vandalisme.
Melalui instalasi berskala besar, karya multimedia, dan karya partisipatif, pameran ini mendorong pengunjung untuk merenungkan narasi-narasi yang telah membentuk memori kolektif Amerika, terutama yang berkaitan dengan isu rasial.
"Ini sangat intens dan benar-benar penting untuk dilihat oleh semua orang," ujar Mary M., seorang pengunjung, kepada Xinhua saat meninggalkan pameran dengan mata berlinang. Pameran ini, imbuhnya, menunjukkan bahwa monumen bukan sekadar cerminan sejarah, tetapi juga alat yang membentuk kesadaran publik, identitas, dan kebijakan, bahkan dapat menjadi sarana penindasan itu sendiri.
"Sebagai keturunan orang-orang yang diperbudak, kami berhak memiliki suara tentang bagaimana sejarah mengingat mereka," kata seorang warga Los Angeles bernama Shawna J. kepada Xinhua.