CARAPANDANG - Di tengah panas menyengat dan krisis pasokan listrik, Yafa Abu Mouawad, seorang wanita Palestina yang tinggal di Jalur Gaza utara, tak punya pilihan selain menempatkan anak-anaknya di dalam ember plastik berisi air untuk membantu mereka menyejukkan diri.
"Sejak awal Juli lalu, kami telah menderita akibat pemadaman listrik selama berjam-jam," keluh ibu lima anak berusia 34 tahun itu kepada Xinhua.
Daerah kantong pesisir yang dihuni oleh lebih dari 2,3 juta orang itu membutuhkan sekitar 500 megawatt listrik per hari, tetapi pasokan listrik Gaza masih jauh dari angka tersebut. Menurut sejumlah pejabat setempat, Jalur Gaza menerima 120 megawatt listrik dari Israel, sedangkan satu-satunya pembangkit listrik yang dimiliki daerah itu hanya mampu menghasilkan 60 megawatt.
Krisis pasokan listrik membuat daerah itu terpaksa melakukan pemadaman listrik setiap delapan jam. Situasi ini bahkan bisa menjadi lebih buruk pada bulan-bulan di musim panas dan musim dingin, ketika pemadaman listrik dapat berlangsung hingga 12 jam.
Situasi pun semakin diperparah oleh tagihan listrik yang kembali dibebankan sejak setengah tahun lalu setelah sempat dibebaskan, kata wanita itu.
"Sebelumnya, saya tidak membayar biaya apa pun karena keluarga saya miskin. Namun, kini situasinya berubah. Saya harus membayar setidaknya 30 dolar AS (1 dolar AS = Rp14.991) per bulan untuk listrik yang bahkan tidak tersedia," keluh wanita itu.