Khusus serangan Beirut, sebenarnya serangan itu terkait pemboman di Dataran Tinggi Golam, yang dianeksasi dari Suriah tahun 1960-an. Setidaknya 12 anak dan remaja suku Arab Druze menjadi korban.
Meski Hizbullah tak mengakui serangan, Netanyahu mengaku melakukan hal tersebut untuk "membalas pembunuhan anak-anak kami". Di sisi lain, warga Druze sendiri- yang kebanyakan bahkan tak memiliki kartu kewarganegaraan Israel- sempat mengatakan tak mau terlibat peperangan apapun.
"Kami telah menyelesaikan masalah kami dengan Mohsen dan kami akan menyelesaikan masalah kami dengan siapa pun yang menyakiti kami," katanya menggunakan nama samaran Shukr.
"Siapa pun yang membunuh anak-anak kami, siapa pun yang membunuh warga negara kami, siapa pun yang menyakiti negara kami, kepalanya akan dihantam dengan harga tertentu," ujarnya.
Kematian Haniyeh 'Hadiah' Perang Netanyahu?
Sementara itu, analis menilai pembunuhan itu-terutama Haniyeh- memiliki tujuan politik bukan tujuan strategis. Bahkan ini dianggap sebagai "hadiah" perang Netanyahu.
"Kebijakan pembunuhan Israel saat ini lebih berfungsi sebagai mekanisme untuk membangkitkan semangat masyarakatnya sendiri, bukan benar-benar mengubah sikap politik atau militer musuh-musuhnya", tulis seorang analis Palestina di Universitas Birzeit, Abboud Hamayel.
"Netanyahu membutuhkan hadiah perang sejak awal", tambah analis lain dari Institut Penelitian dan Studi Mediterania dan Timur Tengah, Agnes Levallois.