"Misal (masalah) pribadi, bisa dilakukan restorative justice, bisa diselesaikan tanpa proses hukum. Kalau mengandung kebencian terhadap salah satu suku, SARA, itu tidak bisa ditoleransi lagi," jelas Ramadhan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menilai kampanye di media sosial (medsos) sangat penting diatur untuk menangkal penyebaran hoaks khususnya jelang pelaksanaan Pemilu 2024.
"Penelitian kami menemukan masih adanya kelemahan aturan kampanye di media sosial saat ini. Aturan yang ada masih belum spesifik dan rinci tentang kampanye di media sosial," kata Adinda dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (25/5).
Adinda menjelaskan pengaturan kampanye di medsos tersebut berkaca pada Pemilu 2019 yang tingginya angka penyebaran hoaks di media sosial.
"Bahkan saat ini konten hoaks media sosial pada Pemilu 2019 diputar kembali jelang Pemilu 2024," ujarnya.
Dia mengatakan pada aspek regulasi, masih adanya perbedaan persepsi antara KPU dan Bawaslu dalam melihat definisi kampanye, definisi media sosial hingga perbedaan dalam mengatur akun kampanye di media sosial.
Menurut dia, dalam penelitian TII menunjukkan bahwa masih ada persoalan sumber daya manusia dalam pengaturan dan pengawasan akun media sosial peserta pemilu.