Bagian kisah ini yang paling aku tertekan tak kuasa bendung haru, iba, menguras emosi, terkesan merobek hati yang bercampur amarah marah. Membayangkan kerasnya hidup ayah yatim-piatu sejak umur dua tahun. Kepada siapa yang ia dambakan bisa bela dirinya dianiaya orang di kebunnya sendiri, bahkan sejak lahir ayah belum begitu mengenal orang tuanya yang terlalu cepat Tuhan mengambilnya.
Terlalu luas kalau menyajikan sejarah bagaimana romannya ayah menikahi ibu bertemu. Tak perlu mensejarahkan tentang ayah ternyata satu-satunya orang Bugis yang tinggal di Desa Ngali. Menurut salah warga, Yasin Bugis (sapaan akrab ayah, Bugie) bukan asal-asal, tetapi karena orang tuanya ayah asli Bugis yang datang berlayar untuk dagang di tanah Bima pada masa itu. Wah… seperti cerita legenda.
Kekaguman aku pada ayah semakin bertambah saja. Istimewa, menjadi anaknya anugerah bagiku. Semenjak bersamanya, aku tak mesti sulit mencari guru ngaji, setiap selesai sholat magrib aku belajar membaca alquran dari ayah. Cambukan lidi cara membudaya menguji ingatan apa yang pernah diajarkannya. Makanya aku sering mengaji berulang yang aku hafal saja.
Ayah memang sang pencerah, menginspirasi diriku untuk selalu berfikir seperti layaknya matahari. Nasehat, anekdot-anekdot hidupnya yang berani, telaten dan sungguh-sungguh mengekspresikan keteladanan.
Hari-hari berganti begitu cepat, roda waktu berputar menggilas batin, usai tak panjang sepenjang dalam cerita legenda. Telah tujuh tahun berlalu, di bulan April 2018 ayah tutup usia.
Beduk subuh belum juga terdengar, tapi aku sudah bangun saja. Sebelumnya, belum pernah aku rasakan perasaan segelisah ini. Firasat tidak enak tiba-tiba merekam keadaan ayah yang memang seminggu lalu ibu mengabarkan badannya yang semula kekar, tinggi besar kini semakin kurus saja. Wajahnya yang segar, harum kasturi aroma wanginya.
Ayah dalam Cerita Legenda
Belasan tahun silam, sekonyong-konyong aku meninggalkan kampung halaman, memutuskan selekas-lekasnya pergi tinggalkan Desa, kawan, cerita naik gunung.