Selanjutnya, Keith juga mengaitkan masalah ini dengan depresi. Merokok membuat tubuh manusia merasakan efek dopamin sehingga lebih bahagia, tenang, dan senang. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang kelas bawah untuk mendapat kebahagiaan berlebih. Jadilah mereka akan terus merokok agar terlepas dari depresi.
"Mereka juga mungkin menghadapi tantangan dalam mengakses perawatan untuk masalah kesehatan mental yang terjadi bersamaan (misalnya, depresi) yang membuat berhenti merokok menjadi lebih sulit," katanya.
Hal ini tidak terjadi di kelompok kelas atas. Jika mereka depresi, rokok hanya jadi salah satu alternatif penghilang. Sebab, mereka punya sumber daya untuk mendapat akses pengobatan kesehatan mental yang tidak murah.
Tak hanya disebabkan oleh perilaku manusianya, kebiasaan ini juga diakibatkan oleh perusahaan rokok yang terkadang tidak bermoral. Hal ini diungkap Megan Sandel dan Renée Boynton-Jarrett dalam opininya di CNN International.
Mereka tidak menampik kalau lingkungan dan faktor ekonomi menjadi biang masalah peningkatan konsumsi rokok di kalangan orang miskin. Namun, faktor ini jangan sampai melupakan pengaruh dari perusahaan rokok itu sendiri.
Pabrik rokok menargetkan lingkungan berpenghasilan rendah dengan menyebarkan lebih banyak ikan rokok. Industri juga menargetkan secara khusus rokok kepada kaum muda di lingkungan sosial ekonomi yang rendah.