Dokter Palestina, Khaled al-Saidani, terlihat di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa (Al-Aqsa Martyrs Hospital) di Kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, pada 9 Januari 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Dampak dari perang tersebut membuatnya menderita depresi selama berbulan-bulan, masa yang suram ketika dirinya mempertanyakan apakah hidup ini layak untuk dijalani. "Beberapa kali, saya berharap saya tewas dalam penyerangan itu," akunya. "Saya merasa hidup saya tak lagi bernilai karena saya menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat."
Namun, krisis medis yang meningkat di Gaza, seperti rumah-rumah sakit yang kewalahan dan terbatasnya jumlah staf medis, akhirnya membuat Al-Saidani kembali bekerja. Awalnya, Al-Saidani mengandalkan kursi roda. Kini, dirinya menggunakan kaki prostetik buatan lokal, meskipun masih jauh dari kata 'ideal'. "Kaki prostetik ini tidak dalam kondisi terbaik, tetapi setidaknya memotivasi saya untuk melanjutkan pekerjaan saya," katanya.
Al-Saidani menghadapi tantangan medis lainnya yang membayangi kehidupannya. Hasil tes menunjukkan penyumbatan arteri yang parah di kaki kirinya, yang dalam kasus terburuk membuat kakinya harus kembali diamputasi. Meski demikian, Al-Saidani menolak untuk meninggalkan tugasnya sebagai seorang dokter.
Dokter Palestina, Khaled al-Saidani, terlihat di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa (Al-Aqsa Martyrs Hospital) di Kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, pada 9 Januari 2025. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)